Pandangan 2 Khalifah Kita Mengenai Menonton Film
Berikut saya cuplikkan beberapa bagian buku “Man of God” yang sudah diterjemahkan oleh Alm. Abdul Qayum Khalid (semoga Allah membalas jasa-jasa dan pengkhidmatan beliau yang luar biasa) mengenai latar belakang dan alasan Hz. Khalifatul Masih II ra melarang menikmati hiburan sekaligus pandangan Hz. Khalifatul Masih IV rh yang “agak berbeda”. Silahkan diidiskusikan
Hal 26-28
Hal itu juga kurang berkenan bagi ayahnya. Masa pertengahan tahun tigapuluhan radio dan film mulai menyebar luas. Hazrat Khalifah melarang mendengarkan radio dan menonton bioskop. Beliau beranggapan kedua hal itu akan menghasilkan pandangan hidup yang tidak senonoh karena manusia menjadi tambah permisive dan mencintai kecantikan artifisial. Bahkan mereka yang paling miskin yang tidak akan mungkin mencapai standar kehidupan untuk memiliki gemerlapan khayali itu, juga bisa menjadi sangat terpengaruh. Sejak saat itu mereka tidak akan mengenal kebahagiaan lagi. Mereka akan selalu memimpikan kemegahan hidup seperti itu.
“Waktu itu aku seusia dimana saatnya ingin menikmati hal tersebut, tetapi karena dilarang jadi kami tidak ada yang pergi” kenang Mirza Tahir kemudian.
Hazrat Khalifah menjelaskan alasan larangan di atas dalam salah satu khutbah Jumat yaitu bahwa kita ini adalah komunitas yang miskin sedangkan tugas yang dipikul demikian besarnya, dengan demikian kita harus membatasi kesenangan agar uangnya dapat dihemat untuk mengkhidmati Islam. Dalam rumah tangga beliau sendiri diterapkan penghematan yang ketat, beliau menekankan bahwa makanan beliau hanya terdiri dari satu hidangan saja. Itu sudah cukup bagi beliau. Tiga sampai empat hidangan dalam satu kali makan tidak saja tidak perlu tetapi juga merupakan pemborosan yang berdosa.
Saat itu musik pengiring film menjadi begitu populer di radio namun banyak Ahmadi menganggapnya tidak saleh mendengarkan musik seperti itu. “Ayahku tidak menyukai- nya sama sekali, namun beliau kadang-kadang pura-pura tidak mendengar jika anak-anaknya sekali-sekali menguping, beliau mentoleransi hal itu sebatas wajar. Sebagai contoh, aku tahu beliau beberapa kali melewati kamarku ketika aku sedang mendengarkan musik dan beliau tidak menegur. Beliau tidak mau mencampuri terlalu dalam. Tetapi jika aku atau siapa pun lalu mendedikasikan diri kepada musik atau yang lainnya, beliau pasti akan langsung bertindak mencegahnya.”
Hal 134 – 136
Masa khilafat dari Hazrat Khalifah Kedua boleh dibilang bersifat puritan. Beberapa penasihat dari Hazrat Khalifah sekarang yang pernah hidup di masa itu, menyarankan bahwa sekarang sudah waktunya untuk kembali menerap- kan kehidupan yang lebih ketat dan sederhana. Sekarang ini menurut mereka terlalu banyak kebebasan di dalam Jemaat karena orang-orang terlalu banyak membelanjakan uang dan waktunya untuk kesenangan. Televisi dan bioskop termasuk bidang-bidang yang menurut mereka telah menuntun para Ahmadi dari berbagai tingkat umur ke jalan yang salah.
Zafrullah Khan, salah seorang puritan murni, pernah mengecam secara terbuka ketika suatu waktu berkunjung ke rumah Mirza Tahir di masa sebelum menjadi khalifah untuk makan malam, dan menemukan beliau memiliki sebuah pesawat televisi.
“Apa yang aku lihat ini?” serunya. “Apakah engkau juga telah membiarkan dirimu terbawa dalam kesenangan fana ini?”
Hazrat Khalifah teringat waktu itu menjawab, “Aku tidak terbawa kepada kesenangan seperti itu, namun aku memiliki pandangan yang tidak sama dengan tuan. Sikapku sangat berbeda. Aku tidak yakin bahwa televisi itu semuanya buruk walaupun memang ada beberapa program yang seharusnya dihentikan.
“Hanya saja kalau kita sepenuhnya mengatakan ‘Tidak’ secara absolut dan menganjurkan para Ahmadi lainnya untuk juga bersikap keras, lalu apa yang akan terjadi?
“Apakah kita jadinya tidak harus melawan tendensi alamiah dari anak-anak muda? Kalau aku melarang anak- anakku menonton televisi di rumahnya sendiri, mereka mungkin akan menontonnya di rumah tetangga. Mereka jadinya mendidik diri mereka sendiri menjadi munafik, menyembunyikan sesuatu kepada ayahnya dan menikmati sesuatu secara rahasia. Langkah seperti itu jelas amat berbahaya karena akan membawa ke hal-hal lainnya.
“Aku lebih suka mereka menonton televisi di rumahnya sendiri agar aku bisa membimbing mereka kapan perlu dan aku dekat dengan mereka ketika mereka membutuhkan aku. Karena itu aku duduk bersama mereka menonton drama dan gambar, yang sebagian sebenarnya aku sendiri tidak terlalu berminat menontonnya.
“Aku memberikan komentar atas tontonan itu. Setelah sekian waktu anak-anak itu memahami sikapku dan kehampaan dari beberapa hal yang ditayangkan. Mereka sendiri kemudian tidak lagi berminat tetapi tidak perlu dengan sebelumnya memberontak terhadap pandanganku yang mungkin dianggap puritan.”
Hazrat Khalifah mengatakan bahwa Zafrullah Khan jadinya memahami bagaimana beliau mendidik keluarga.
Apakah dengan demikian beliau menentang keyakinan kebijaksanaan dari Hazrat Khalifah Kedua?
Beliau menjawab, “Sebagai Amir suatu Jemaat, kita harus berupaya memperbaiki kualitas kehidupan para Ahmadi, baik secara keruhanian, akhlak dan di bidang- bidang lainnya. Pada suatu periode waktu dan dalam suatu konteks tertentu, kebijakan yang keras bisa dimanfaatkan untuk menciptakan dan mencapai tujuan-tujuan itu. Dengan berjalannya waktu ketika semua mengalami perubahan, kita pun harus merubah kebijakan agar dapat mencapai tujuan-tujuan dimaksud.
“Jadi, aku bukannya membantah atau menolak cara pendekatan beliau guna mencapai tujuan-tujuan luhur itu. Hanya saja kalau aku sekarang secara kaku mengikuti cara beliau maka aku akan gagal mencapai tujuan luhur tersebut dan bahkan mungkin merusak Jemaat. Dengan demikian perbedaannya adalah pada metodologi, bukan pada pengarahan atau dalam prinsip-prinsipnya.”
Beliau kemudian hari mengulas juga masalah permisivitas yang mengatasnamakan kebebasan individual dan tentang apakah dosa itu tergantung sudut pandang dari yang melihatnya.
“Pendekatan jalan tengah bisa saja menjemukan, namun dalam analisis akhir, hanya itulah pendekatan terbaik untuk menciptakan ekuilibrium dalam masyarakat dan menjaga mereka dari kegagalan-kegagalan.
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan